Minggu, 04 Desember 2011

Periodesasi Hadis


PERIODESASI SEJARAH PERKEMBANGAN HADIS
Keberadaan hadits sebagai salah satu sumber hukum dalam Islam memiliki sejarah perkembangan dan penyebaran yang kompleks. Sejak dari masa pra-kodifikasi, zaman Nabi, Sahabat, dan Tabi’in hingga setelah pembukuan pada abad ke-2 H. Perkembangan hadits pada masa awal lebih banyak menggunakan lisan, dikarenakan larangan Nabi untuk menulis hadits. Larangan tersebut berdasarkan kekhawatiran Nabi akan tercampurnya nash al-Qur'an dengan hadits. Selain itu, juga disebabkan fokus Nabi pada para sahabat yang bisa menulis untuk menulis al-Qur'an. Larangan tersebut berlanjut sampai pada masa Tabi'in Besar. Bahkan Khalifah Umar ibn Khattab sangat menentang penulisan hadits, begitu juga dengan Khalifah yang lain. Dalam Kamus Bahasa Indonesia Lengkap kata periodisasi berasal dari kata dasar periode yang berarti kurun waktu[1]. Periodisasi penulisan dan pembukuan hadits secara resmi dimulai pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Abd al-Aziz (abad 2 H). Terlepas dari naik-turunnya perkembangan hadits, tak dapat dinafikan bahwa sejarah perkembangan hadits memberikan pengaruh yang besar dalam sejarah peradaban Islami.
Menurut Hasbi Al Shiddiqy membagi periodesasi perkembangan hadits kepada tujuh bagian sebagai berikut :
1.      Periode pertama yaitu pada masa Rasulullah masih hidup, periode ini disebut  dengan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.
2.      Periode kedua yaitu masa sahabat besar dan khulafau rasyidin, periode ini disebut dengan masa membatasi dan menyedikitkan riwayat.
3.      Periode ketiga yaitu masa sahabat kecil dan tabiin besar atau pada masa pemerintahan Bani Umayyah sampai akhir abad I Hijriah disebut dengan zaman penyebaran riwayat (hadits) ke kota-kota.
4.      Periode keempat yaitu masih pada Bani Umayyah, dimulai dari masa pemerintahan khalifah Umar Bin Abdul Aziz sampai abad kedua hijriah, masa ini disebut dengan masa penulisan dan pendewaan atau pembukuan hadits.
5.      Periode kelima yakni mulai dari masa abad III H sampai akhir abad III H, masa ini disebut dengan masa pemurnian, penyehatan, dan penyempurnaan.
6.      Periode keenam yakni dimulai dari abad IV sampai jatuhnya kota Baghdad (656), masa ini disebut dengan masa pemeliharaan, penertiban, penambahan dan penghimpunan.
7.      Periode ketujuh yaitu mulai dari jatuhnya Baghdad (656 H)  sampai sekarang, masa ini disebut dengan masa pensyarahan, penghimpunan, pentakhrihjan, dan pembahasan.[2]
1. PERIODE PERTAMA (MASA RASUL)
Periode pertama yaitu pada masa Rasulullah masih hidup, periode ini disebut  dengan masa turunnya wahyu dan pembentukan masyarakat Islam.
Rasul hidup di tengah-tengah masyarakat sahabatnya, mereka dapat bertemu dan bergaul dengan beliau secara bebas. Nabi bergaul dengan mereka dir umah, di masjid, di pasar, di jalan, di dalam safar, dan di dalam hadlar. Seluruh perbuatan nabi, demikian juga segala ucapan dan tutur kata beliau menjadi tumpuan dan perhatian para sahabat, segala gerakgerik beliau mereka jadikan pedoman hidup.
Para sahabat menerima hadits (syariat) dari Rasul SAW, adakalanya langsung dari beliau sendiri, yakni mereka langsung mendengar sendiri dari Nabi, baik karena ada suatu soal yang diajukan oleh seseorang lalu Nabi menjawabnya, ataupun karena nabi sendiri yang memulai pembicaraan, adakala tidak langsung yaitu mereka menerima dari sesama sahabat atau mereka menyuruh seseorang bertanya kepada nabi jika mereka sendiri malu untuk bertanya.
Semua sahabat umumnya menerima hadits dari nabi SAW, para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Rasul SAW. Ada yang tinggal di kota, di dusun, berniaga, bertukang, ada yang sering bepergian, dan lain-lain. Rasul pun tidak selalu mengadakan “ceramah terbuka”
Ceramah terbuka diberikan beliau hanya pada tiap-tiap hari jumat, hari raya, dan waktu-waktu yang tidak ditentulkan, jika keadaan menghendaki.
Dalam menerima hadits, para sahabat berpegang kepada kekuatan menghafalnya, yakni menerima dengan jalan hafalan bukan dengan jalan menulis. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang Nabi sabdakan, lalu tergambarlah lafal/makna itu dalam dzihin mereka. Mereka melihat apa yang Nabi kerjakan, mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari Rasul.
Para sahabat banyak menerima pelajaran dari Nabi
1.      Yang mula-mula masuk islam yang dinamai As Sabiqunal Awwalun,  seperti khulafah rasidin dan Abdullah ibnu mas’ud.
2.      Yang selalu berada disamping Nabi dan bersungguh-sungguh menghapalnya, seperti Abu Hurairah. Dan yang mencatat seperti Abdullah ibnu Amr ibn Ash.
3.      Yang lama hidupnya sesudah nabi dapat menerima hadits dari sesama sahabat, seperti Anas ibn Malik dan Abdullah ibn Abbas.
4.      Yang erat hubungannya dengan Nabi yaitu umahatul mu’minin, seperti Aisyah dan Ummu Salamah
A. Kedudukan usaha menulis hadits di masa Nabi SAW
Riwayat-riwayat yang benar ada menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai lembaran-lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan didalamnya sebuah hadits yang mereka dengar dari Rasul SAW, seperti Shahifah ibn Ash yang dinamai “Ash shadiqah”.

B. Pembatalan larangan menulis Hadits
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa larangan menulis hadits yang dinaskan oleh Abu Sa’is, dimusnahkan dengan izin yang datang sesudahnya.
Sebagian ulama berpendapat bahwa larangan menulis hsdits tertentu terhadap mereka yang dikhawatirkan akan mencampuradukkan hadits dengan Al-quran . Izin hanya diberikan kepada mereka yang tidak dikhawatirkan mencampuradukkan hadits dan Al-quran.

2. PERIODE KEDUA YAITU MASA SAHABAT BESAR DAN KHULAFAU RASYIDIN, PERIODE INI DISEBUT DENGAN MASA MEMBATASI DAN MENYEDIKITKAN RIWAYAT.
Nabi berkata walaupun sehadits, karena perintah menyampaikan hadits (mentablighkannya) dapat difahakn dari hadits ini dengan jalan aulawiyah (lebih patut/lebih perlu), lantaran ayat Al-quran walaupun sudah tersebar dan banyak pendukungnya, Allah sendiri telah menjamin terpelihara dari hilang dan rusak.[3]
Oleh karena itu, para sahabat pun sesudah Rasul wafat, sedikit demi sedikit menyampaikan hadits kepada orang lain.
Majelis-majelis Nabi tidaklah hanya dihadiri oleh laki-laki, banyak juga para perempuan yang detang ke masjid dan pertemuan-pertemuan umum, untuk mendengar sabda dan ucapan-ucapan Nabi. Nabi sendiri sering mempergunakan waktu khusus untuk memberikan pelajaran kepada para wanita.
A.  Hadits di Masa Abu Bakar Dan Umar
Setelah Rasul wafat, para sahabat tidak lagi berdiam di kota Madinah, mereka pergi ka kota-kota lain. Maka penduduk pun mulai menerima hadits, para tabiin mempelajari hadits dari para sahabat itu. Mulailah berkembang riwayat dalam kalangan tabi’in.
Dalam masa khalifah Abu Bakar dan Umar, periwayatan hadits belum lagi diluaskan. Beliau ini mengerahkan minat ummat untuk menyebarkan Al-quran dan memerintahkan para sahabat untuk berhati-hati menerima riwayat-riwayat itu.
Sejarah menerangkan bahwa Umar memegang tambuk kekhalifahan meminta dengan keras supaya para sahabat menyelidiki riwayat. Beliau tidak membenarkan membanyakkan periwayatan hadits.  Ketika mengutus perutusan ke Iraq, beliau mewasiatkan supaya utusan-utusan itu mengembangkan Al quran dan mengembangkan kebagusan tajwidnya, serta mencegah mereka membanyakkan riwayat.
B.  Cara-cara sahabat meriwayatkan Hadits
Ada dua cara yang digunakan sahabat nabi dalam meriwtatkan hadits, yaitu:
1.      Adakala dengan lafal asli, yakni menurut lafal yang mereka terima dari Nabi yang mereka hafal benar lafal dari Nabi.
2.      Adakala dengan maknanya saja, yakni mereka meriwayatkan maknanya bukan lafalnya, karena mereka tidak hafal lafalnya yang asli lagi dari Nabi SAW .
Yang penting dari hadits ialah isi. Bahasa dan lafal boleh disusun dengan kata-kata lain, asal isinya telah ada dan sama. Karena itu terdapat hadits-hadits yang diriwayatkan dengan beberapa lafal (matan).
C.  Lafal lafal yang dipakai sahabat dalam meriwayatkan hadits dan nilai-nilainya
Lafal-lafal yang dipakai para sahabat dalam meriwayatkan hadits, baik perkataan Nabi, maupun perbuatannya, para ahli ushul membaginya kapada lima derajat :
1.      Derajat pertama, dialah yang paling kuat ialah seorang shabby berkata, sami’tu Rasulullahi yaqulu kadza = saya dengar Rasul SAW. Berkata bagini…, atau akhbarani = mengkhabarkan kepadaku…, atau haddatsani = menceritakan kepadaku…, atau syafahami = berbicara di hadapanku…
2.      Derajat kedua, ialah seorang shahaby berkata, bersabda Rasul SAW, begini, atau mengkhabarkan Rasul begini, atau menceritakan Rasul SAW, begini.
3.      Derajat ketiga ialah seseorang shahaby berkata, Rasul SAW, menyuruh begini, atau mencegah ini. Ini dihukum marfu menurut madzhab Jumhur.
4.      Derajat keempat ialah seseorang shahaby berkata, kami diperintahkan begini, atau ditegahkan begini.
5.      Derajat kelima ialah seseorang shahaby berkata, adalah mereka (kami) para sahabat begini. Maka bila disandarkan kepada zaman Rasul, memberi pengertian boleh.[4]
D. Ketelitian para sahabat dalam menerima hadits dari sesama sahabat
Sahabat Rasul SAW, dan pemuka-pemuka tabi’in mengetahui isi Al-quran dengan sepenuhnya. Mereka dengan segera mengikuti segala awamir dan menjauhi segala nawahi. Apabila mereka mengetahui sesuatu dari sunnah Rasul, mereka segera mengajarkannya kepada orang lain dan menyampaikannya untuk memenuhi tugas wajib, menyampaikan amanah dan untuk mencari rahmat.
Akan tetapi, mereka sangat berhati-hati dalam menerima hadits. Mereka tidak menerimanya dari siapa saja. mereka mengetahui ada hadits yang menghalalkan dan ada hadits yang mengharamkan.
Pada umumnya sahabat tidak mensyaratkan apa-apa dalam menerima hadits dari sesama mereka. Akan tetapi, yang tak dapat diingkari, bahwa sahabat itu sangat berhati-hati dalam menerima hadits.
Meminta seorang saksi atau menyuruh seoarang perawi bersumpah untuk membenarkan riwayatnya, tidak dapat dipandang suatu undang-undang umum dalam menerima hadits. Yang perlu dalam menerima hadits, kepercayaan yang penuh kepada perawi. Jika pada suatu ketika kita ragu tentang riwayatnya, kita boleh meminta dia mendatangkan saksi, atau menyuruh dia bersumpah.
H. hadits di masa Usman dan Ali
   Ketika kendali pemerintahan dipegang oleh Usman r.a. dan dibuka pintu perlawatan kepada para sahabat serta umat mulai memerlukan sahabat, bergeraklah sahabat-sahabat kecil mengumpulkan hadits dari sahabat-sahabat besar dan mulailah mereka meninggalkan tempat untuk mencari hadits.
I. Sebab-sebab para sahabat tidak membukukan hadits dan mengumpulkannya dalam sebuah buku
            Asy Syaikh Abu Bakr Shiqily dalam fawaidnya menurut riwayat ibn Basyikual, sebenarnya para sahabat tidak mengumpulkan sunnah-sunnah Rasul dalam sebuah mushab sebagaimana mereka telah mengumpulkan Al Quran. Karena sunnah-sunnah itu telah tersebar dalam masyarakat dan tersembunyi dan dihafal. Karena itu, ahli-ahli sunnah menyerahkan perihal penukilan hadits kepada hafalan-hafalan hadits mereka saja.
3 . PERIODE KETIGA YAITU MASA SAHABAT KECIL DAN TABIIN BESAR ATAU  PADA MASA PEMERINTAHAN BANI UMAYYAH SAMPAI AKHIR ABAD I HIJRIAH DISEBUT DENGAN ZAMAN PENYEBARAN RIWAYAT (HADITS) KE KOTA-KOTA.
A. Masa berkembang dan meluas periwayatan hadits
Sesudah masa Utsman dan Ali timbullah usaha yang lebih serius untuk mencari dan menghafal serta menyebarkan hadits ke dalam masyarakat luas dengan mengadakan perlawatan-perlawatan untuk mencari hadits.

B. Sahabat-sahabat yang mendapat julukan “bendaharawan hadits”
Dalam fase ini, terkenalah beberapa orang sahabat dengan julukan bendaharawan hadits, yakni orang-orang yang riwayatnya lebih dari 1000 hadits. Diantara sahabat yang membanyakkan riwayat ialah : Abu Hurairah, Aisyah, Anas ibn Malik, Abdullah ibnu Abbas, Abdullah ibn Umar, Jabir ibn Abdillah, Abu aid Al Khudriy, Ibnu Masud , dan Abdullah ibn Amr ibnu Ash

C. Tokoh-tokoh hadits dalam kalangan tabiin
   Diantara tokoh-tokoh tabiin yang mashur dalam bidang riwayat :
*      Di madinah
Said, Urwah, Abu bakar ibn Abdu Rahman ibnu Al Harits, ibn Hisyam, Ubai Dullah ibn Abdullah ibn Utbah, Salim ibn Abdullah ibn Umar, Sulaiman ibn Yassar, Al Qhasyim ibn Muhammad ibn Abu Bakr, Nafi’, Az Zuhry, Abul Zinad, Kharijah ibn Zaid, Abu Salamah ibn Abdir Rahman ibn Auf
*      Di mekah
Ikhrimah, Athah ibn Abi Rabah, Abul Zubair, Muhammad ibn Muslim.
*      Di kufah
Asyi Syaby, Ibrahim An Nakha’y, Al Qamah An Nakhy
*      Di basrah
Al Hasan, Muhammad ibn Sirin, Qatadah
*      Di syam
Umar ibn Abdil Aziz, Qabishah ibn Dzuaib, Makhul Ka’bul Akbar.
*      Di mesir
Abu Khair Martsad ibn Abdullah Al Yaziny, Yazid ibn Habib
*      Di yaman
Thaus ibn Kaisan Al Yamany, Wahab ibn Muhabbih

D. Pusat-pusat hadits
Kota-kota yang menjadi pusat hadits ialah : Madinah, Mekah , Kufah , Basrah, Syam , Mesir
4. PERIODE KEEMPAT
A. Permulaan zaman pembukuan hadits
Dikala kendali khalifah dipegang oleh Umar ibn Abdul Aziz yang dinobatkan pada tahun 99H seorang khalifah dari dinasti Awwamiyah yang terkenal adil dan wara’ sehingga beliau dipandang sebagai khalifah rasyidin yang kelima, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits. Ada dua pokok mengambil sikap seperti ini. Pertama, ia khawatir terhadap hilangnya hadis-hadis dengan meninggalnya para ulama di medan perang. Kedua, ia khawatir juga akan tercampurnya antara hadis-hadis yang sahih dengan hadis-hadis palsu.[5] Untuk mewujudkan mulia itu,pada tahun 100H khalifah meminta kepada gubernur Madinah, Abu Bakr ibn Muhammad ibn Amer ibn Hazmin (120H) yang menjadi guru ma’mar, Al Laits, Al Auza’y, Malik, Ibnu Ishaq dan ibn Abi Dzi’bin supaya membukukukan hadits rasul yang terdapat pada wanita terkenal, Amrah binti Abdir Rahman, ibn Saad ibn Surarah, ibn ‘Ades, seorang ahli fiqih,murid Aisyah ra.(20H=642M-98H=716M atau 106H=724M), dan hadits-hadits yang ada pada Al Qosim ibn Muhammad ibn abi Bakar As shiddiq (107H=725M),seorang pemuka tabiin dan salah seorang fuqoha Madinah yang tujuh.
Disamping itu “Umar mengirimkan surat-suratnya kepada gubernur ke serata wilayah kekuasaannya supaya berusaha membukukuan hadits yang ada pada ulama yang diam di wilayah mereka masing-masing diantara ulama besar yang membukukan hadita atas kemauan khalifah itu, ialah: Abu Bakar Muhammad Ibn Muslim ibn Ubaidillah ibn Sihab Az Zuhri seorang tabi yang ahli dalam urusan hadits. 
B. Sistem ulama-ulama abad kedua membukukan hadits
            Para ulama abad kedua membukukan hadits, dengan tidak meyaringnya. Mereka tidak membukukan hadits-hadits saja fatwa-fatwa sahabat juga dimasukkan kedalam bukunya itu, bahkan fatwa-fatwa tabiin juga dimasukkan. Semua itu dibukukan bersama sama maka terdapatlah dalam kitab-kitab itu hadits-hadits marfu’, hadits-hadits maukuf dan hadits-hadits maqthu’.
C. Kitab-kitab hadits yang terkenal pada abad kedua
            Kitab hadits yang telah dibukukan dan dikumpulkan pada abad kedua ini banyak, akan tetapi yang terkenal dikalangan ahli hadits ialah: Al Muwatta’ susunan Imam Malik (95H-179H), Al Masghazy wal Siyar, susunan Muhammad ibn Ishaq (150H), Al Jami’,susunan Abdur Razaq As San’any (211H)


 D. Kedudukan dan keadaan kitab-kitab hadits abad kedua H
   Al Muwaththa yang paling terkenal dari kitab-kitab hadits abad kedua mendapat sambutan dari para ulama yang mengandung 1726 rangkaian khabar dari Nabi, dari sahabat dan tabiin.
Diantara ulama yang memberikan perhatiannya kepada musnad-musnad yaitu Al Hafidh Muhammad ibn Ash Shalihy Asy Syafi’y dalam kitabnya Aqdul Jaman. Dan Al Hafidh Syamsuddin ibn Thullun dalam kitabnya Al Fihritsul Ausath.
Kitab-kitab yang lain tidak mendapat perhatian yang sempurna. Sehingga kitab-kitab tersebut hilang ditelan masa walaupun isinya telah ditampung oleh kitab abad ketiga.
E. Pemisahan hadits-hadits tafsir dan hadits sirah
            Pada abad kedua, hadits-hadits tafsir mulai dipisahkan dengan hadits-hsdits sirah dan maghazinya oleh Muhammad ibn Ishaq ibn Yassar Al Muthathaliby (151H), yang diriwayatkan oleh ibnul Hisyam, yakni Abu Muhammad Jamaluddin ibn Abdil Malik ibn Hisyam Al Himsyari Al Mu’afiry. Kitab ini terkenal dengan nama  Sirah Ibnu Hisyam
F. Bertambah luasnya pemalsuan hadits
            Di antara hal yang timbul dalam abad yang kedua,ialah meluasnya pemalsuan hadits. Dalam masa ini muncullah propaganda-propaganda politik untuk menumbangkan rezim Amawiyah. Untuk mudah mempengaruhi massa,dibuatlah hadits-hadits palsu. Dengan hadits-hadits ini mudahlah mereka menarik minat dan perhatian rakyat kepada Abassiyah.
            Sebagai imbangan,muncul pula dari pihak Amawiyah ahli-ahli pemalsu hadits untuk membendung arus propaganda penganut-penganut faham Abassiyah.
G. Tokoh-tokoh hadits abad kedua
            Di antara tokoh-tokoh hadits yang masyur dalam abad kedua Hijrah,ialah: Malik, Yahya ibn Sa’id Al Qaththan, Waki ibn Al Jarrah, Sufyan Ats Tsaury, ibnu Uyainah, Syu’bah ibnu Hajjal, Abdur Rahman ibn Mahdy, Al Auza’y, Al Laits, Abu Hanifah, Asy Syafi’y.

H. Sebab-sebab seorang tabi’y dan tabi’it tabi’y banyak dapat meriwayatkan hadits
            Oleh karena para tabi’in dan tabi’it tabi’in mengambil hadits dari banyak sahabat dan dari sesamanya,maka jumlah  riwayat seseorang tabi’y biasanya lebih banyak dari seseorang shahaby dan riwayat tabi’it tabi’y,lebih banyak dari tabi’y. begitulah seterusnya.
            Oleh karena itu harus dimaklumi bahwa yang dimaksud dengan hadits di sini: perkataanNabi,perbuatanya,taqrirnya,perkataan sahabat,perbuatannya,taqrir mereka dan perkataan tabi’in,perbuatan dan taqrir mereka.
5. PERIODE KELIMA
A. Masa membukukan hadits semata-mata (hadits dalam abad ketiga)
Para ahli abad kedua sebagai yang telah diterangkan tidak mengasingkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabiin. Keadaan ini diperbaiki oleh ahli hadits abad yang ketiga. Ketika mereka bangkit mengumpulkan hadits, mereka mengasingkan hadits dari fatwa fatwa itu. Mereka membukukan hadits saja dalam buku-buku hadits. Akan tetapi satu kekurangan pula yang hatus kita akui, ialah mereka tidak memisah-misahkan hadits. Yakni mereka mencampuradukan hadits shahih dengan hadits hasan dan hadits dhaif.
B. Bertambah meluas lawatan ,penyusunan kaidah dan pentashihan hadits
Dalam abad ketiga Hijrah ini memuncaklah usaha pembukuan hadits. Mula mulanya kebanyakan ulama islam mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat di kota mereka masing-masing. Sebagian kecil saja diantara mereka yang pergi ke kota lain untuk kepentingan hadits. Keadaan muliah ini dipecahkan oleh Al Bukhary. Beliaulah yang mula-mula meluaskan daerah-daerah yang dikunjungi untuk mencari hadits. Beliau pergi ke Maru, Naisabur, Rei, Baghdad, Bashrah, Kufah, Makkah, Madinah, Mesir, Damsyik, Qaisariyah, Asqalan, dan Himsah.
C. Imam yang mula-mula membukukan hadits yang dipandang shahih saja
Untuk menyaring hadits-hadits itu serta membedakan hadits-hadits yang shahih dari yang palsu dan dari yang lemah, bangunlah seorang imam hadits yang besar, ishaq ibn Rahawaih, memulai usaha memisahkan hadits-hadits yang shahih dan yang tidak.
Pekerjaan yang mulia ini, kemudian diselenggarakan dengan sempurna oleh Al Imam Al Bukhary. Al Bukhary menyusun kitabnya yang terkenal dengan nama Al Jami’us Shahih. Di dalamnya beliau bukukan hadits-hadits yang dianggap shahih saja.
Kemudian usaha Al Bukhary ini diikuti pula oleh muridnya  yang sangat alim, Al Imam Muslim. Maka dengan jerih payah kedua sarjana besar ini, kita menemukan sumber-sumber hadits yang bersih. Sesudah shahih Al Bukhary dan Shahih Muslim tersusun, bangun pula beberapa orang imam lain menuruti jejak kedua pujangga di atas. Seperti Abu Daud( Sunan Abu Daud),At Turmudzy( Sunan At Turmudzy) dan An Nasa’y( Sunan An Nasa-y).
Untuk mentashihan hadits dibutuhkan pengetahuan yang luas tentang tariq rijalil  hadits, tanggal lahir dan wafat perawi, agar dapat diketahui apakah dia bertemu dengan orang yang ia riwayatkan haditsnya atau tidak.
Al Bukhary mempunyai dua keistimewaan yaitu hafalan yang kuat dan jarang kita temukan bandinganya, teristimewa dalam bidang hadits serta keahlian dalam meneliti keadaan perawi-perawi yang nampak kita lihat dalam kitab tariq yang disusun untuk menerangkan keadaan-keadaan perawi hadits karena itu dibutuhkan pengetahuan yang mendalam tentang perawi-perawi hadits bagaimana nilai kebenaran dan kepercayaan perawi itu, nilai hafalan mereka,siapa yang benar dapat dipercayai,siapa yang tertutup keadaanya, siapa yang dusta, dan siapa yang lalai.
D. Langkah-langkah yang diambil untuk memelihara hadits
Para ulama membukukan hadits dan memisahkan hadits dari fatwa-fatwa sahabat dan tabi’in atau memisahkan yang shahih dari yang dhaif, beliau-beliau itu memberikan pula kesungguhanya untuk menyusun kaedah-kaedah tahdits, ushul-ushulnya, syarat-syarat menerima riwayat, syarat-syarat menolaknya syarat-syarat shahih dan dhaif,serta kaedah-kaedah yang dipegangi dalam menentukan hadits-hadits maudhu’. Semua itu mereka lakukan untuk memelihara sunnah rasul dan untuk menetapkan garis pemisah antara yang shahih dengan yang dhaif.
Maka langkah-langkah yang telah diambil para ulama dalam usaha mengkritik jalan-jalan penerima hadits sehingga dapatlah mereka melepaskan sunnah dari tipu daya dan membersihkannya dari segala yang mengotorinya,ialah: mengisnatkan hadits,memeriksa benar tidaknya hadits yang diterima, mengkritik para perawi, membuat ketentuan-ketentuan umum untuk menentukan derajat hadits, seperti: tidak menerima riwayat orang yang fasiq lantaran banyaknya maksiat yang dilakukanya, walaupun ia tampak tidak berdosta. Karena Al-Qur’an dan hadis telah melarang  menerima hadis darisetiap orang fasiq, kecuali ia meninggalkan semua perbuatan dosanya dan bertaubat dengan sesungguhnya. Lalu menggantikan  semua sifatnya yang buruk dengan sifat orang-orang yang bertakwa.[6] Jika demikian maka hadisnya dapat diterima dan sifat keadilanya bisa kembali. Sebagaimana Allah SWT berfirmanžwÎ) `tB z>$s? šÆtB#uäur Ÿ@ÏJtãur WxyJtã $[sÎ=»|¹ šÍ´¯»s9'ré'sù ãAÏdt6ムª!$# ôMÎgÏ?$t«Íhy ;M»uZ|¡ym 3 tb%x.ur ª!$# #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇÐÉÈ  
’.     Artinya: kecuali orang-orang yang bertaubat, beriman dan mengerjakan amal saleh, maka kejahaan mereka akan diganti dengan kebajikan dan Allah itu maha pengampun lagi maha penyayang (Q.S Al Furqan : 70).[7]
6. PERIODE KEENAM
Pada abad kedua dan ketiga para ulama hadits diberi gelar Mutaqaddimin, yang mengumpulkan hadits dengn semata-mata berpegang kepada usaha sendiri dan pemeriksaan sendiri, dengan menemui para penghafalnya yang tersebar di setiap pelosok dan penjuru Negara Arab, Persi dan lain-lain.
Maka setelah abad ketiga berlalu bangkitlah pujangga-pujangga abad keempat yang diberi gelar Mutaakhhirin. Kebanyakan hadits yang mereka kumpulkan adalah petikan atau nukilan dari kitab-kitab mutaqaddimin. Dalam abad keempat ini lahirlah fikiran mencakupi dalam merwayatkan hadits dengan berpegang kepada kitab saja, tidak melawat ke mana-mana.
Pada akhir abad keempat selesailah pembinaan hadits, cukuplah terkumpul seluruh hadits yang diterima dari Nabi dengan berbagai jalan dalam buku-bukunya yang sudah diterangkan, dan berhentilah kesungguhan yang telah diberikan imam-imam hadits abad ketiga dan keempat.
Maka ulama-ulama abad yang kelima Hijrah menitikberatkan usaha untuk memperbaiki susunan kitab, mengumpulkan yang berserakan dan memudahkan jalan pengambilan dan sebagainya, seperti mengumpulkan hadits-hadits hukum dalam satu kitab dan hadits-hadits targhib dalam sebuah kitab, serta mensyaratkannya.
7. PERIODE KETUJUH – SEKARANG
Mulai dari masa Baghdad dihancurkan oleh Hulagu Khan, berpindahlah kegiatan perkembangan hadits ke Mesir dan India. Pada masa ini banyak kepala-kepala pemerintahan yang berkecimpung dalam bidang ilmu hadits seperti Al Barquq.
Jalan-jalan yang ditempuh oleh ulama-ulama dalam masa yang ketujuh ini, ialah menertibkan isi kitab-kitab hadits, menyaringnya dan menyusun kitab-kitab takhrij, serta membuat kitab-kitab Jami yang umum, kitab-kitab yang mengumpulkan hadits hukum, mentakhrijkan hadits-hadits yang terdapat dalam beberapa kitab yang terkenal dalam masyarakat dan menyusun kitab Athraf.
    

NAMA                  : ARIS TRY ANDREAS PUTRA
SEMESTER           : VI / PAI E
PRODI                   : PAI


[1] Departemen Pendidikan, Kamus Bahasa Indonesia Lengkap, (Jakarta: Balai Pustaka,1999), h. 487
[2] St. Kuraedah, Ulumul Hadis I, (Kendari, Istana Profesional, 2006), h.28
[3] Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, (Semarang, PT.Pustaka Rizki Putra,1999),  h. 40
[4]  Ibid., h. 44
[5] Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta:PT Raja Grafindo Persada,2002), h.90
[6] St Kuraedah, Ulumul Hadis II, (Kendari: Istana Profesional,2007), h.93            
[7] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya,( Semarang: PT. Karya Toha Putra Semarang,1995),h. 698

Tidak ada komentar:

Posting Komentar